Kampung Bratasena Adiwarna, pada tahun 1994 (sebelum hujan abu) memang sudah diresmikan menjadi pusat pemukiman yang baru dimana tadinya berpusat di “DENTE” atau “TIYUH TOHOW” di daerah Way Dente sekarang ini. Pada waktu pemukiman ini berpusat di Dente yang ditunjuk menjadi kepala kelompok, yaitu Hi. Syafe’i yang memimpin dan membawahi empat keturunan besar masing-masing terdiri dari:
a. Keturunan Ngebe (Ngebihi) Lang Negara.
b. Keturunan Batu Tembuh.
c. Keturunan Pangeran Jangkap.
d. Keturunan Empu Cangeh.
Asal usul Kampung Teladas, Penduduk yang mendiami daerah kawasan Dente terdiri dari berbagai suku dan daerah asalnya, sebagaimana yang telah diuraikan di atas, antara lain: Ngebihi Lang Negara; Batu Tembuh; Pangeran Jangkap; dan Empu Cangeh; Namun atas kesadaran mereka bersama sehingga dapat bersatu baik dalam bidang keagamaan (Islam) maupun dalam bidang kemasyarakatan sehari-hari.
Demi untuk kepentingan bersama maka dipandang perlu bermusyawarah untuk memilih dan menunjuk seorang pemimpin dan menyatukan pusat pemukiman maka atas hasil musyawarah memutuskan Hi. Syafe’i menjadi Tua-Tua Kampung yang dipusatkan di Dente meliputi/membawahi umbul-umbul sebagai berikut:
1. Sungai Bayan Way Seputih.
2. Sungai Burung.
3. Teluk Baru.
4. Sungai Nibung.
5. Mahabang/Gunung Bugam.
6. Kekatung/Gunung Kembang.
7. Dente/Tiyuh Tohow.
8. Teluk Batin Dalem/Mesuji Lunik.
9. Rantau Baru.
10. Teladas.
Selaras dengan perkembangan Adat Istiadat Lampung – Tulang Bawang Marga Empat, yang terdiri dari Marga Tegamoan, Marga Buwai Bulan, Marga Buwai Aji, Marga Suwai Umpu, maka seantero warga masyarakat di dalam kawasan tersebut di atas termasuk dalam kawasan “ADAT TULANG BAWANG MARGA EMPAT”.
Untuk jelasnya bahwa kira-kira tahun 1901, terjadi upacara Adat, yang lazim disebut Nyeteh Pepadun dari pusat Marga Tegamoan Kampung Pagar Dewa Tohow dari Pepadun ST. JIMAT, oleh karena itu warga/Penyimbang Kampung Teladas mayoritas terdiri dari Marga Tegamoan hingga sekarang.
Sejak saat itulah menurut hukum adat yang berlaku daerah Dente (Teladas) diresmikan serta ayah terlepas dari kekuasaan Marga Tegamoan Kampung Pagar Dewa Tohow, selanjutnya diberi Hak dan Kekuasaan untuk mendirikan Tiyuh (Kampung) sendiri, dengan batas-batas sebagai berikut:
Sebelah Utara berbatas dengan Marga Aji Gd. Meneng.
Sebelah Selatan berbatas dengan Marga Subing Seputih.
Sebelah Barat berbatas dengan Way Terusan.
Sebelah Timur berbatas dengan Laut Jawa.
Karena faktor usaha dan mata pencaharian penduduk menetap di berbagai tempat baik di daratan maupun di pantai dan sungai merupakan umbul-umbul dan pendukuhan-pendukuhan masing-masing namun walaupun demikian kesatuan dan persatuannya tetap terbina baik, selanjutnya juga tata kehidupan semakin meningkat mampu hidup dari sumber lingkungan menurut usaha mereka masing-masing. Dari sumber penghasilan masyarakat inilah dapat dikenal dan mengenal hubungan dengan pedagang yang berdatangan pada waktu itu.
Akan tetapi dibalik keuntungan yang dirasakan, munculah musibah yang berkepanjangan dari sekelompok bajak-laut yang dikenal dengan nama “BAJAU” mengadakan perampokan secara keji dan membabi-buta di sepanjang pantai/sungai memaksakan mengungsi berkumpul kembali ke daerah Dente, disamping menghindar sambil menyusun pertahanan/perlawanan, menghadapi kenyataan ini mereka menunjuk Hulu Balang yang memimpin peperangan itu “PANGERAN SEMBAHYOW” untuk melawan/mengusir bajau tersebut dari sepanjang kawasan “Dente”.
Setelah beberapa kali menghadapi serangan dari pihak lawan, maka beliau tewas dalam pertempuran sehingga jenazahnya tidak dapat diselamatkan oleh kawan-kawannya. Menurut sumber cerita/sejarahnya dibuang di lautan.
Akibat dari kegagalan “Pangeran Sembahyow” sebaliknya kemenangan berada di pihak Bajau, maka kelompok Bajau semakin mengganas membabi-buta dan terus mendesak ke daratan melalui Sungai Kekatung/Gunung Kembang menuju Dente. Sungai Kekatung/Gunung Kembang menuju ke arah Dente, adapun arena pertempuran tersebut dikenal sampai sekarang dengan nama “SAKAL BAJAU”.
Sebagai tindak lanjut dari pertahanan dan perlawanan masyarakat Dente, atas Rahmat Tuhan Yang Maha Esa mereka mengadakan musyawarah dan mufakat untuk memilih Hulu Balang yaitu “PANGERAN JANGKAP” yang langsung memimpin pertempuran, maka terjadilah pada waktu itu perang massal yang lebih dikenal dengan nama Perang Sakti. Dalam pertempuran tersebut para korban berjatuhan baik pihak lawan maupun kawan, yang pada akhirnya masyarakat yang dibawah pimpinan Pangeran Jangkap dapat mengalahkan dan mengusir pihak Bajau tersebut dari daerah kawasan Dente dan sekitarnya.
Setelah keadaan disekitarnya ternyata aman, barulah masyarakat bermusyawarah untuk memindahkan pusat pemukiman ini ke tempat yang lebih lancar hubungannya dengan Kampung-Kampung yang lain. Justru karena itu pada tahun 1883, berpindah ke suatu rantau membujur di sisi Sungai Tulang Bawang yang pada saat itu disebut Tebing Teladas, maka oleh sebab itu sampai sekarang disebut Kampung Dente Teladas atau Kampung Bratasena Adiwarna.